Animasi berasal dari bahasa Latin
yaitu animate yang artinya menghidupkan, memberi jiwa dan mengerakan benda
mati. Animasi merupakan proses membuat objek yang asalnya objek mati, kemudian
disusun dalam posisi yang berbeda seolah menjadi hidup. Di dalam animasi ada
dua objek penting, yaitu objek atau gambar dan alur gerak.
Film adalah merupakan media
komunikasi sosial yang terbentuk dari penggabungan dua indra, penglihatan dan
pendengaran, yang mempunyai inti atau tema sebuah cerita yang banyak
mengungkapkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat dimana
film itu sendiri tumbuh.
Animasi adalah gambar begerak
berbentuk dari sekumpulan objek (gambar) yang disusun secara beraturan
mengikuti alur pergerakan yang telah ditentukan pada setiap pertambahan
hitungan waktu yang terjadi. Gambar tersebut dapat berupa gambar makhluk hidup,
benda mati, ataupun tulisan.
Stephen Cavalier (2011) dalam
bukunya “The World History of Animation” membagi sejarah animasi dunia ke dalam
lima babak besar yang tiap-tiap babak memiliki penandanya masing-masing yang ia
sajikan secara kronologis. Lima babak tersebut dimulai sebelum tahun 1900
hingga era digital. Penjelasan 5 babak tersebut dapat dibaca di tulisan
sebelumnya yang berjudul "Lima Babak Animasi Dunia".
Jika ditelusuri lebih jauh, jejak
animasi Indonesia dapat ditelusi dari wayang dan relief pada candi-candi di
nusantara. Wayang dan relief yang ada di candi-candi di Indonesia adalah
artefak atau jejak perjalanan seni visual nusantara yang tak ternilai harganya.
Beberapa kalangan antara lain Dwi Koendoro dan Gotot Prakosa berpendapat bahwa
wayang dan relief adalah cikal bakal komik dan animasi Indonesia (Prakosa, 2008).
Yang membedakan wayang dan relief dengan animasi dalam konteks film adalah
masalah dimensi ruang-waktu (time base media). Maka dalam konteks lima babak
animasi dunia, wayang dan relief candi yang telah mengakar lama dalam sejarah
nusantara dapat dianggap sebagai era pre-film (era sebelum 1900), atau era asal
muasal animasi sebagai medium seni visual di Indonesia (The Origin of
Indonesian Animation). Dalam konteks sejarah animasi global temuan tersebut
sejalan atau analog misalnya dengan temuan lukisan gua purba, gambar mural di
Mesir kuno, hingga gambar penghias mangkuk di China Kuno.Namun sampai saat ini
untuk alat-alat (device) animasi pre-film yang lebih maju seperti Praxinoscope,
Zoetrope, Phenakistoscope, dan Kinetoscope apakah pernah ada di Indonesia masih
harus dicari jejak sejarahnya.
Animasi Indonesia dapat dilihat
dari tiga perspektif, yaitu animasi yang ada di Indonesia, animasi yang
sepenuhnya dibuat atau diproduksi oleh orang Indonesia, dan animasi luar yang
dibuat atau diproduksi di Indonesia (outsoursing). Tulisan ini berusaha memuat
tiga sudut pandang tersebut. Dalam sudut pandang pertama, meskipun belum bisa
dinikmati secara luas, animasi telah dikenal di Indonesia sejak tahun 1933 atau
masa menjelang periode akhir era kolonial di Indonesia, banyak koran lokal yang
memuat iklan film animasi produksi Walt Disney. Dari sudut pandang kedua,
menurut Prakosa (2010) animasi dalam bentuk film mulai diproduksi di Indonesia
oleh orang Indonesia pada tahun 1955 melalui animasi propaganda “Si Doel Memilih”.
Sedangkan dari sudut pandang ketiga, beberapa studio animasi luar negeri
terutama dari Jepang sejak tahun 80an meng-outsource produksi animasi mereka di
Indonesia sebagai salah satu bentuk globalisasi budaya dan ekonomi. Dengan
demikian, secara umum sejarah animasi modern Indonesia dimulai pada tahun 1956,
yaitu ketika Presiden Soekarno yang terkenal sangat menghargai karya seni
melakukan kunjungan resmi ke Amerika Serikat menyempatkan berkunjung ke
Disneyland yang bertepatan dengan momen satu tahun berdirinya taman bermain
raksasa tersebut. Saat itu Soekarno tercatat sebagai presiden pertama yang
berkunjung ke Disneyland. Setelah pulang ke tanah air Soekarno mengirim seorang
seniman bernama Dukut Hendronoto (Pak Ook) untuk belajar animasi di studio Disney.
Setelah belajar selama 3 bulan, ia kembali ke Indonesia dan membuat film
animasi pertama berjudul “Si Doel Memilih”. Film animasi tersebut bercorak
propaganda dengan menggunakan teknik gambar dua dimensi pada sel transparan,
atau lembaran tembus pandang, hitam dan putih.Film animasi untuk propaganda
kampanye pemilihan umum di Indonesia itu menjadi tonggak dimulainya animasi
modern di Indonesia. Dengan demikian, dalam konteks animasi dunia, animasi
Indonesia dimulai di masa transisi era emas animasi tradisonal atau animasi
kartun (the golden age of cartoon) tahun 1928 – 1957, ke era televise
(television era) tahun 1958 - 1985. Dimana di Indonesia TVRI (Televisi Republik
Indonesia) mengawali siarannya pada tahun 1963. Namun sayang sekali, animasi
yang dianggap animasi Indonesia pertama tersebut tidak dapat dilacak
dokumentasinya, sehingga animasi pertama ini masih menjadi kontroversi tentang
kebenaran sejarahnya, sehingga perlu dilakukan riset lanjutan untuk menelusuri
jejak sejarahnya ke fihak-fihak terkait untuk membuktikan kebenaranya.
Selanjutnya pada tahun 1963 Pak
Ook hijrah ke TVRI dan mengembangkan animasi di sana dalam salah satu program
namun kemudian program itu dilarang karena dianggap terlalu konsumtif. Di tahun
tersebut TVRI merupakan stasiun TV satu-satunya di Indonesia.Stasiun ini juga
sudah memulai menayangkan film-film yang dibuat oleh Walt Disney dan
Hanna-Barbera, sekitar tahun 1970. Pada masa yang sama, lahir juga kebijakan
baru tentang penayangan iklan di TVRI yang kemudian melahirkan program “Mana
Suka Siaran Niaga”. Saat itulah film animasi iklan nasional lahir, yang
memberikan gambaran nyata tentang keadaan industri film animasi yang tidak bisa
lepas dari pertumbuhan televisi.
Berdasarkan wawancara dengan
Wagiono Sunarto (2014), pada tahun 1972 muncul beberapa film animasi yang
dibuat oleh Drs. Suyadi (di kenal sebagai Pak Raden) di sebuah lembaga bernama
Training Aid Center (TAC), lembaga di bawah UNICEF yang berada di Jalan
Surapati. Drs. Suyadi membuat satu tim yang membuat beberapa film, salah
satunya adalah Film Edukasi tentang Keluarga Berencana yang dibuat bersama
Prof. Dr. RM. Sularko, salah satu dokter gigi yang menjadi ketua Federasi
Perkumpulan Seni Foto Indonesia (FPSI). Pada tahun 1972 juga berdiri studio
animasi pertama di Jakarta bernama Anima Indah yang didirikan oleh seorang
warga Amerika bernama Lateef Keele.Anima Indah termasuk yang mempelopori
animasi di Indonesia karena menyekolahkan krunya di Inggris, Jepang, Amerika
dan lain-lain.Anima Indah berkembang dengan baik namun lebih banyak berkembang
di bidang periklanan. Di tahun 70-an banyak film yang menggunakan kamera
seluloid 8mm, maraknya penggunaan kamera untuk membuat film tersebut, akhirnya
menjadi penggagas adanya festival film. di festival film itu juga ada beberapa
film animasi seperti; Batu Setahun, Trondolo, Timun Mas yang disutradarai
Suryadi alias Pak Raden. Dengan demikian diawal era televisi hingga akhir tahun
70an inilah animasi Indonesia mulai berkembang, terutama untuk periklanan.Di
tahun1973 juga muncul Festival Film Mini yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ). Dari festival ini lahirlah Dwi Koendoro (Dwi Koen) melalui
animasi pendeknya yang berjudul “Batu”. Dengan demikian pada tahun 70an selain animasi iklan juga mulai
muncul animasi-animasi pendek yang lebih bersifat eksperimental (animasi
festival). Dalam konteks animasi dunia, tahun 60an hingga 70an, Disney yang
pada era sebelumnya tergolong produktif dalam memprodusi animasi layar lebar,
begitu di era televisi sudah mulai jarang memproduksi animasi layar lebar lagi
dan mulai masuk ke industri animasi televisi mengikuti sukses UPA (United
Production of America), MGM (Metro Golden Mayers), Hanna-Barbera, Fleischer
Brothers, dsb yang telah terlebih dahulu sukses memanfaatkan medium baru tersebut.
Era tahun 80-an ditandai sebagai
tahun mulai maraknya animasi Indonesia, antara lain melalui film animasi “Rimba
Si Anak Angkasa” yang disutradarai oleh Wagiono Sunarto dan dibuat atas
kolaborasi ulangan “Si Huma” yang diproduksi oleh PPFN dan merupakan animasi
untuk serial TV. Berdasarkan wawancara dengan Gotot Prakosa (2014) pada tahun
80an ini juga muncul animasi-animasi eksperimental terutama animasi buatan
mahasiswa IKJ termasuk Gotot sendiri didalamnya.Animasi-animasi tersebut mampu
menembus festival animasi Internasional di beberapa Negara antara lain Jerman,
Belanda, Perancis, hingga Jepang.Animasi pendek tersebut telah berhasil
mengangkat citra animasi Indoensia di mata internasional, sesuatu yang sulit
dilakukan oleh animasi komersial saat itu. Baru pada tahun 2006, setelah
melalui perjuangan panjang di festival-festival dan forum-forum animasi
internasional akhirnya bisa mengantar animasi dan seniman animasi Indonesia
untuk masuk manjadi anggota ASIFA (Association Internationale du Film d'Animation),
sebuah forum organisasi animasi internasional tertua yang yang berpusat di
Perancis dan memiliki cabang (board) di banyak negara di dunia. Masuknya
Indonesia ke anggota ASIFA pada tahun 2006 juga menjadi penanda penting
diakuinya Indonesia dalam forum animasi internasional tertua tersebut. Selain
itu, pada tahun 1980-1990-an juga lahir beberapa studio animasi seperti Asiana
Wang Animation yang bekerjasama dengan Wang Film Animation, Evergreen, Marsa
Juwita Indah, Red Rocket Animation Studio di Bandung, Bening Studio di
Yogyakarta dan Tegal Kartun di Tegal. Dalam konteks sejarah animasi dunia, pada
tahun 80an di beberapa negara khususnya Amerika telah mulai mengembangkan
animasi digital terutama yang dipelopori oleh kalangan peneliti dari Universitas-universitas
yang bekerjasama dengan antara lain ILM, dan Pixar Studio. Beberapa animasi
pendek dan visual effeck sederhana telah muncul diera ini dan sebagian dipakai
dalam beberapa film.Tron adalah salah film yang satu pionir pada tahun 80an
yang menggunakan visual effek animasi dalam beberapa adegan filmnya.
Memasuki era tahun 90-an, sudah
banyak bertaburan berbagai film animasi meskipun tetap belum dikenal luas oleh
publik tanah air, diantaranya Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang, Satria
Nusantara yang kala itu masih menggunakan kamera film seluloid 35 mm. Kemudian
ada serial “Hela, Heli, Helo” yang merupakan film animasi 3D pertama yang di
buat di Surabaya. Tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis
cerita rakyat seperti Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas dan petualangan
si Kancil.Dan pada era 90-an ini banyak terdapat animator lokal yang menggarap
animasi terkenal dari negara Jepang seperti Doraemon dan Pocket Monster.Pada
tahun 90an setelah lahirnya televisi swasta di Indonesia animasi Jepang mulai
mendominasi program animasi televisi dan mampu bersaing dengan animasi buatan
Amerika. Pada tahun 90an muncul beberapa film animasi layar lebar fenomenal
produksi Disney seperti Beauty and the Beast (1991), Alladin (1992), The Lion
King (1994), Hingga animasi panjang 3Dkomputer pertama produksi Pixar, Toy
Story (1995). Menyusul kemudian film animasi Disney yang lain seperti Hercules
(1997), Mulan (1998), hingga Tarzan (1999), Studio Pixar di akhir 90an atau
tepatnya tahun 1999 kembali merilis Toy Story 2. Film-film tersebut mendapatkan
respon luar biasa dari penonton di seluruh dunia. Animasi telah menjadi produk
global yang tidak kalah bersaing dengan jenis film yang lain.
Selanjutnya pada milenum baru,
dengan semakin mudahnya akses teknologi digital, banyak sekali bermunculan
studio-studio animasi kecil dan komunitas animasi di Indonesia.Diantara sekian
banyak studio animasi yang terdapat di Indonesia, Red Rocket Animation termasuk
yang paling produktif. Pada tahun 2000 Red Rocket memproduksi beberapa serial
animasi TV seperti Dongeng Aku dan Kau, Klilip dan Puteri Rembulan, Mengapa
Domba Bertanduk dan Berbuntut Pendek, Si Kurus dan Si Macan. Pada masa ini
serial animasi cukup populer karena sudah menggabungkan 2D animasi dengan 3D
animasi. Mulai bangkit dan munculnya animasi komputer di Indonesia juga tidak
lepas dari lahirnya komunitas dan forum antara lain indoCG, Animator forum,
komunitas Blender, dsb sejak awal tahun 2000an. Pada masa ini juga muncul
lembaga-lembaga study komputer grafis dan animasi antara lain Digital Studio
dan Hello Motion yang ikut mensupport perkembangan animasi di Indonesia melalui
pendidikan animasi. Selain itu jurusan DKV dan informatika di beberapa
perguruan tinggi juga mulai membuka program atau peminatan animasi.Lalu pada
tahun 2003, serial 3D animasi merambah ke layar lebar diantaranya “Janus
Perajurit Terakhir”. Janus adalah animasi hibrid yang mengkombinasikan antara
live shot dengan animasi. Film ini dari hasil wawancara dengan Syah Inderaprana
(2014), seorang tokoh/praktisi animasi digital, dianggap sebagai “milestone”
penting dalam perkembangan animasi khususnya animasi layar lebar Indonesia
pertama. Setahun kemudian, tepatnya pada 7 Mei 2004, hadir film 3D animasi
berdurasi panjang (full animation) buatan Indonesia sekitar 60 menit yaitu
“Homeland” yang ceritanya diolah Studio Kasatmata bersama Visi Anak Bangsa.
Film ini berkisah tentang petulangan seorang bocah bernama Bumi yang berusaha
menemukan tempat tinggalnya di dunia imajiner bernama Atlantis.Film ini digarap
selama satu tahun di bawah payung Studio Kasatmata di Jogjakarta.Walaupun film
ini kurang meraih sukses, dan dianggap sebagai “milestone” yang gagal terutama
karena masih minim secara kualitas, tapi menjadi babak baru bagi dunia peranimasian
Indonesia. Meskipun demikian, dalam konteks film 3D animasi panjang dunia, film
ini muncul hampir 9 tahun setelah film animasi 3D panjang pertama “Toy Story”
yang rilis pada tahun 1995. Sedangkan pada tahun 2004 disaat Homeland rilis,
film-film animasi produksi Pixar telah mampu menampilkan simulasi yang jauh
lebih kompleks dari film pertama mereka Toy Story, salah satunya melalui film
yang sangat fenomenal “Finding Nemo” yang mampu mensimulasikan air dan gerakan
ikan yang sangat realistic (bahkan surealistik). Sebelumnya pada tahun 2001
juga muncul animasi CGI fenomenal “Final Fantasy” produksi Square Pictures yang
meskipun gagal secara penjualan namun dianggap sebagai tonggak kedua animasi
CGI setelah Toy Story pada tahun 1995.
Selanjutnya, baru pada tahun
2008, Indonesia berhasil membuat film animasi 3D pertama yang ditayangkan di
layar lebar dan juga sudah berhasil Go Internasional (didistribusikan ke
berbagai negara mulai dari Singapura, Korea, dan Rusia).Film animasi yang
berjudul “Meraih Mimpi” tersebut diproduksi Infinite Frameworks (IFW), studio
animasi yang berpusat di Batam. Film ini merupakan adapatasi dari buku karya
Minfung Ho berjudul Sing to The Dawn. Buku tersebut bercerita tentang kakak
beradik yang berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari kontraktor yang
jahat.IFW membuat adapatasi buku Minfung Ho tersebut atas permintaan pemerintah
Singapura yang ingin buku wajib baca di beberapa SD di Singapura tersebut
dibuatkan filmnya. Begitu mendapat tawaran, IFW langsung memulai pengerjaan
film Sing to The Dawn. Sedangkan di tahun yang sama (2008) animasi meraih mimpi
harus bersaing dengan beberapa film animasi layar lebar terutama produksi
Amerika antara lain Kungfu Panda produksi Dreamworks animation, Wall-E produksi
Pixar, dan Bolt produksi Studio Disney yang sangat popular pada saat itu.
Terutama film animasi Wall-E yang mendapat anugerah sebagai the best animated
feature di ajang academy award tahun 2008.Sedangkan pada tahun pada tahun
sebelumnya Disney Pixar juga merilis Ratatouille, animasi fenomenal yang juga
mendapatkan Oscar tahun 2007 yaitu seabagai film animasi terbaik.
Sebagai penutup, jika dilihat
dalam konteks film (layar lebar) berdasarkan aspek produksi, animasi adalah
medium yang kompleks dan mahal. Maka wajar jika perkembangan animasi di
Indonesia dalam konteks global tergolong sangat lambat, meskipun persinggungan
dengan dunia film dan animasi telah berlangsung cukup lama di negeri ini.
Bahkan jika dilihat dari sejarah film sebagai medium animasi, perkembangan awal
film di Indonesia bisa dikatakan sama dengan awal perkembangan film dunia dan
telah berlangsung semenjak era kolonial Belanda awal abad 20. Perkembangan film
animasi Indonesia sempat menemukan momentumnya di awal era televisi, namun
meredup kembali di tahun 80an hingga 90an, dimana pada saat itu animasi di
Indonesia banyak didominasi oleh animasi luar terutama Jepang dan
Amerika.Perkembangan animasi Indonesia selanjutnya menemukan momentumnya lagi
di era digital meskipun terlambat hampir 10 tahun lamanya jika dilihat dalam
konteks perkembangan animasi dunia (global), baik secara bentuk maupun
teknologi.Namun yang menarik namun luput dari penulisan sejarah film maupun
animasi Indonesia adalah munculnya animasi ekperimental (Avanguard animation)
pada tahun 80an yang mampu bersaing di festival-festival animasi internasional.
Masuknya indonesia ke anggota ASIFA pada tahun 2006 juga menjadi penanda
penting diakuinya Indonesia dalam forum animasi internasional tertua tersebut.
Jurnal : https://goo.gl/ztHX3J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar