1. INTERNALISASI BELAJAR DAN SPESIALISASI
Internalisasi adalah proses norma-norma kemasyarakatan yang tidak berhenti sampai institusionalisasi saja,akan tetapi mungkin norma-norma tersebut sudah mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
Norma-norma ini kadang-kadang dibedakan antara norma-norma :
1) Norma-norma yang mengatur pribadi yang mencakup norma-norma kepercayaan yang betujuan agar manusia beriman,dan norma kesusilaan yang bertujuan agar manusia berhati nurani yang bersih.
2) Norma-norma yang mengatur hubungan pribadi, mencakup kaidah kesopanan dan kaidah hokum serta mempunyai tujuan agar manusia bertingkah laku yang baik dalam pergaulan hidup dan bertijuan untuk mencapai kedamaian hidup.
a. Masalah-masalah kepemudaan
Massalah pemuda merupakan masalah yang abadi dan selalu dialami oleh setiap generasi dalam hubungan dengan generasi yang lebih tua. Problema ini disebabkan karena sebagai akibat dari proses pendewasaan seorang, penyesuaian dirinya dengan situasi yang baru timbullah harapan setiap pemuda akan mempunyai masa depan yang (kalau bisa) lebih baik.
Daripada orang tuanya. Proses perubahan terjadi secara lambat dan teratur (evolusi) atau dengan besar-besaran sehingga orang sukar mengendalikan perubahan yang terjadi,bahkan seakan-akan tidak diberi kesempatan untuk menyesuaikan dengan situasi (obyektif) perubahan tadi.
Di Negara-negara berkembang anak-anak yang higga beberapa waktu yang lalu memperoleh pendidikan tradisional yaitu pendidikan berupa penerusan kebiasaan dan nilai-nilai budaya dari orang tuanya,dewasa Ini mengalami suatu situasi dimana mereka sebanyak mungkin harus menemukan jalannya untuk dirinya sendiri.
Sebagian besar pemuda mengalami/menikamati suatu pendidikan yang lebih tinggi dari orang tuanya hal mana merupakan inti berkurangnya pengertian antara orang tua dengan anak. Dalam masyakat tradisional maka orang tua dan para sesepuh sebagai peer group memberikan bimbingan pengarahan kepada anak-anaknya, merupakan norma-norma masyarakatnya sehingga dapat dipergunakam dalam hidupnya dalam zaman perubahan masyarakat seringkali orang tua sendiri tidak dapat memahami apa yang terjadi disekitarnya. Banyak masalah tidak terpecahkan oleh mereka karena kejadian yang menimpa mereka belum pernah dialami oleh siapa pun dalam ligkungan nya dan karena itu dank arena itu anak-anak juga dapat menikmati bimbingan yang akan memudahkan masa depan mereka seperti sedia kala.
Dewasa ini umum ditemukan bahwa secara biologi, politis dan fisik seorang pemuda sudah dewasa akan tetapi secara ekonomis, psikologis masih kurang dewasa. Seringkali diketemukan pemuda-pemuda telah menikah, mempunyai keluarga menikmati hak politiknya sebagai warga Negara tetapi dalam segi ekonominya masih tergantung dari orang tua yang tinggal agak jauh dari tempat belajar/studinya.
Masalah antar generasi merupakan masalah suatu masyarakat yang dikenal sejak dahulu kala. Yang dipermasalahkan adalah nilai-nilai masyarakat. Bagaimana serasi atau kurang serasi hubungan ini akan tampak dalam saat-saat kritis. Pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa masalah antar generasi mencerminkan kebudayaan masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian, bagaimana masalah itu dipecahkan juga mencerminkan kebudayaan masyarakat itu.
Sehubungan dengan ini , para ahli paedagogi social berpendapat bahwa masalah antar generasi kurang dan hampir tidak terdapat dimasyarakat yang tertutup tradisional.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masalah antar generasi merupakan suatu masalah modern.
Adapun inti pokok adalah bahwa dalam masyarakat dengan system tertutup/tradisional, pembinaan dan proses pendewasaan terjadi secara kontinyu, diawasi oleh social control masyarakat.
Suatu masyarakat akan mengalami stabilitas social apabila “proses reproduksi generasi” berjalan dengan baik, sehingga terbentuklah personifikasi, identitas- indentitas dan solidaritas sebagaimana diharapkan oleh generasi sebelumnya.
b. Hakikat Kepemudaan
Kiranya disadari bahwa ada berbagai tafsiran yang bisa diberikan terhadap pemuda/generasi muda. Untuk itu kiranya perlu diperjelas bahwa pengertian pemuda disini adalah mereka yang berumur diantara 15-30 tahun. Hal ini sesuai dengan pengertian pemuda/generasi muda sebagaimana yang dimaksudkan dengan pembinaan generasi muda dan dilaksanakan dalam repelita IV.
Pendekatan klasik tentang pemuda melihat bahwa masa muda merupakan masa perkembangan yang enak dan menarik. Kepemudaan merupakan suatu fase dalam pertumbuhan biologis seseorang yang bersifat seketika, dan sekali waktu akan hilang dengan sedirinya sejalan dengan hokum biologis itu sendiri: manusia tidak dapat melawan proses ketuaan. Maka keanehan-keeanehan yang menjadi ciri khas masa muda akan hilang sejalan dengan berubahnya usia.
Menurut pendekatan yang klasik ini, pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri yang bertentangan dengan aspirasi mayarakat, atau lebih tepat aspirasi orang tua atau generasi tua. Selanjutnya muncullah persoalan-persoalan frustasi dan kecemasan pemuda karena keinginan-keinginan mereka tidak sejalan dengan kenyataan (keinginan) generasi tua. Dalam hubungan ini kemungkinan timbul konflik dalam berbagai bentuk protes, baik yang terbuka maupun yang terselubung. Di sinilah pemuda bergejolak untuk mencari identitas mereka.
Dalam hal ini hakikat kepemudaan dicari atau ditinjau dari dua asumsi pokok:
Pertama, penghayatan mengenai proses perkembangan manusia bukan sebagai suata kotinum yang sambung menyambung tetapi fragmentaris, terpecah-pecah, dan setiap fragmen mempunyai artinya sendiri. Pemuda di bedakan dari anak dan orang tua dan masing-masing fragmen itu mewakili nilai sendiri.
Oleh sebab itu, arti setiap masa perkembangan hanya dapat dimengerti dan dinilai dari masa itu sendiri. Masa kanak-kanak hanya dapat diresapi karena keanakannya, masa pemuda karena sifat-sifatnya yang khas pemuda, dan masa orang tua yang diidentikan dengan stabilias hidup dan kemapanan.
Tidak mengherankan kalau romantisme akan tumbuh subur dalam pendekatan ini. Karena “mahkota hidup” adalah masa tua yang disamakan dengan hidup bermasyarakat, maka tingkah laku anak dan pemuda tidak lebih dari riak-riak kecil yang tidak berartidalam gelombang perjalan hidup manusia.
Dinamika pemuda tidak lebih dari usaha untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola kelakuan yang sudah tersedia, dan setiap bentuk kelakuan yang menyimpang akan dicap sebagai sesuatu yang anomalis, yang tak sewajarnya. Dan jika itu ditantang oleh kaidah-kaidah sosial yang sudah melembaga, maka hal itu akan terjelma dalam bentuk adanya jurang pemisah antara generasi muda dan generasi tua.
Seyogyangalah penilaian bertolak dari suatu asumsi kehidupan yang bersifat kontinum, yang melihat pemuda dan kepemudaan sebagai suatu tonggak dari “wawasan kehidupan”, yang dengan sendirinya mempunyai potensi serta romantisme dalam suatu kesatuan untuk mengisi hidupnya.
Pendekatan klasik melihat potensi dan romantisme pemuda sebagai suatu yang berdiri sendiri, baik pemuda sebagai perorangan maupun pemuda sebagai anggota kelompok da anggota dari suatu masyarakat. Demikian pula usaha-usaha untuk menyalurkan potensi pemuda kerapkali bersifat fragmentaris, karena potensi itu dilihat bukan merupakan sebagai dari aktivitas dalam wawasan kehidupan, tetapi tidak lebih sebagai penyaluran tenaga yang berlebihan dari pemuda itu.
Asumsi pokok yang kedua yang merupakan tambahan dari asumsi wawasan kehidupan ialah posisi pemuda dalam arah kehidupanitu sendiri. Tafsiran-tafsan klasik didasarkan pada anggapan bahwa kehidupan mempunyai pola yang banyak sedikitnya sudah tertentu dan ditentukan oleh mutu pemikiran yang diwakili oleh generasi tua yang bersembunyi dibalik tradisi. Dinamika pemuda tidak dilihat sebagai sebagian dari dinamika kehidupan atau lebih tepat sebagian dari dinamika wawasan kehidupan
Hal ini disebabkan oleh suatu anggapan bahwa pemuda tidak mempunyai andil yang berarti dalam ikut mendukung proses kehidupan bersama dalam masyarakat. Pemuda dianggap sebagai objek dari penterapan pola-pola kehidupan dan bukan sebagai subjek yang mempunyai nilai sendiri.
2 asumsi yang mendasari pandangan di atas, kiranya tidak akan memberi jawaban terhadap “kebinalan” pemuda dewasa ini. Baik gagasan mengenai “wawasan kehidupan” maupun konsep mengenai tata kehidupan yang dinamis, akan menggugurkan pandangan klasik, yang menafsirkan kelakuan pemuda dan hidup kepemudaan sebagai suatu yang abnormal.
Pemuda sebagai suatu subjek dalam hidup, tentulah mempunyai nilai sendiri dalam mendukung dan menggerakan hidup bersama itu. Hal ini hanya bias terjadi apabila tingkah laku pemuda itu sendiri ditinjau sebagai interaksi terhadap lingkunganya dalam arti luas. Penafsiran menganai identifikasi pemuda seperti ini disebut sebagai sesuatu pendekatan ekosferis.
Ciri utama dari pendekatan ini melingkupi dua unsur pokok yaitu unsur lingkungan atau ekolagi sebagai keseluruhan dan kedua, unsur tujuan yang menjadi pengarah dinamika dalam lingkungan itu. Yang dimaksud dengan “lingkungan” dalam konsep ini melingkupi seluruh aspek dari totalitas lingkungan yang dapat diidentifisir dalam unsur-unsur lingkungan fisik, social dan budaya termasuk nilai nilai kehidupan. Tingkah laku manusia merupakan interaksi antra manusia dengan lingkungan pesisir pantai akan bertingkah laku yang berbeda dengan hidup di pegunungan. Yang hidup di kota metropolitan hingarbingar akan berbeda dengan hidup di dusun-dusun yang penuh kedamaian.
Hubungan antara manusia sebagai subyek dengan lingkunganya adalah hubungan timbal balik yang aktif. Artinya, bukan saja manusia itu mengubah, memperbaiki atau merusak lingkunganya, tetapi juga akan ikut menentukan, mengubah atau merusak manusia sebagai akibat pengrusakan manusia atas lingkunganya. Keseimbangan antara manusia dengan lingkunganya adalah suatu keseimbangan yang dinamis, suatu interaksi yang bergerak. Arah gerak itu sendiri mungkin kea rah perbaikan mungkin pula kea rah kehancuran. Hal itu tergantung pada tingkat pengelolaan manusia terhadap lingkunganya, serta jawaban yang kreatif terhadap potensi lingkunganya, baik potensi manusiawi maupun potensi fisik yang ekonomis.
Dua hal yang menonjol dari pendekatan ekosferis ini. Pertama, kepemudaan dan kehidupan orang dewasa dan anak-anak merupakan totalitas. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara pemuda, orang dewasa (generasi tua) dan anak-anak, secara fundamental. Kalaupun perbedaan dalam kematangan berfikir, dalam menghayati makna hidup dan kehidupan ini semata-mata disebabkan oleh tingkat kedewasaannya.
Bertolak dari suatu kenyataan bahwa dalam masyarakat modern dimana perubahan social terjadi begitu cepat, maka semua kelompok, termasuk generasi tua perlu mencari dan menginternalisasikan atau menghayati ukuran-ukuran standar yang ternyata bersifat dinamis. Pendekatan ekosferis mengenai tingkah laku manusia memperkuat dugaan diatas. Lingkungan hidup manuasia dalam arti yang luas, seperti yang telah dijelasskan, merupakan suatu totalitas yang dinamis. Hal ini berarti, bahwa bukan saja pemuda, juga generasi tua haruslah sensitive terhadap dinamika lingkungan dengan ukuran-ukuran standar yang baru.
Dengan pendapat diatas jelas kiranya bahwa pendekatan ekosferis mengenai pemuda, menempatkan masalah pemuda pada horizon yang lebih luas. Segala jenis “kelainan” yang hingga kini seolah-olah telah menjadi hak paten pemuda, akan lebih dapat dimengerti sebagai suatu keresahan dari masyarakat sendiri sebagai keseluruhan. Hal ini juga berarti bahwa keresahan pemuda adalah juga suatu refleksi dari keresahan masyarakat secara keseluruhan. Secara lebih spesifik, gejolak hidup pemuda dewasa ini, adalah respons terhadap lingkungan yang kini berubah dengan cepat. Kerapkali unsur-unsur manusiawi dengan lingkungan social ekonomis ataupun fisik,tidak berjalan seirama. Secara ideal irama ini hendaknya harmonis, namun kerapkali dalam kenyataannya hal ini sukar dicapai karena keterbatasan-keterbatasan dalam lingkungan itu sendiri.
2. PEMUDA DAN IDENTITAS
Telah kita ketahui bahwa “pemuda atau generasi muda” merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah “nilai”, hal ini sering lebih merupakan pengertian ideologisdan kultural daripada pengertian ilmiah. Misalnya “pemuda harapan bangsa”, “pemuda pemilik masa depan” dan lain sebagainya yang kesemuanya merupakan bahwa moral bagi pe-
Hal 122
Muda. Tetapi dilain pihak pemuda menghadapi persoalan-persoalan sepetri kenakalan remaja, ketidakpatuhan persoalan seperti kenakalan remaja, ketidak pahaman kepada orang tua/guru, kecanduan narkotika,frustasi, masa depan suram , keterbatasan lapangan kerja dan masalah lainnya, kesemuanya akibat adanya jurang antara keinginan dan harapan dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Diatas telah dikemukakan bahwa pemuda sering dibuat “generasi muda”, merupakan istilah demografis dan sosiologis dalam konteks tertentu. Dalam pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda bahwa yang dimaksud pemuda adalah :
1). Dilihat dari segi biologis,terdapat istilah :
Bayi : 0 – 1 tahun
Anak : 1 – 12 tahun
Remaja : 12 – 15 tahun
Pemuda : 15 – 30 tahun
Dewasa : 30 tahun keatas
2). Dilihat dari segi budaya atau fungsional dikenal istilah :
Anak : 0 – 12 tahun
Remaja : 13 – 18 tahun – 21 tahun
Dewasa : 18 – 21 tahun keatas
Dimuka pengadilan manusia berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa. Untuk tugas- tugas Negara 18 tahun sering diambil sebagai batas dewasa tetapi dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang mengambil 18 tahun da nada yang mengambil 21 tahun sebagai permulaan dewasa. Dilihat dari segi psikologis dan budaya, maka pematangan pribadi ditentukan pada usia 21 tahun.
3). Dilihat dari angkatan kerja, ada istilah tenaga muda dan tenaga tua. Tenaga muda adalah calon- calon yang dapat diterima sebagai tenaga kerja yang diambil antara 18 – 22 tahun.
4). Dilihat dari perencanaan modern, digunakan istilah sumber- sumber daya manusia muda (young human resources ) .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar